Senin, 11 Mei 2009

Mendengarkan musik klasik = membuat orang cerdas?



Sekitar 23 tahun lalu, Dra Iesye Widodo mengandung anaknya yang pertama. Meski kehamilan pertama, ia tak mau bermanja-manja apalagi bermalas-malas. Ia tetap aktif memberi les piano klasik -- aktivitas yang telah ditekuninya
sejak masih menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kala itu, Iesye sama sekali tak menyadari bahwa bahwa kegiatan musik yang ia lakukan itu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap perkembangan kecerdasan anaknya. Ia bilang, si sulung ini sejak kecil telah menunjukkan
minat baca yang besar. Prestasi belajarnya sejak SD, SMP, SMA maupun perguruan tinggi selalu memuaskan. Kemampuannya dalam bidang matematika juga sangat menonjol.
Sebagai ibu, tentu saja ia bangga akan hal ini. Tapi pada saat yang sama, ia pun bertanya-tanya: ''Dari mana anak ini memperoleh bakat matematika, sebab saya sendiri paling tidak menyukai matematika?''
Bertahun-tahun, ia tak kunjung menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Barulah ketika mendapat tugas belajar ke Jerman pada tahun 1985 - 1987, ia dapatkan jawaban itu. Asal tahu saja, Iesye yang kala itu menjabat sebagai Kepala Poliklinik Psikologi RSAB Harapan Kita, Jakarta mendalami bidang terapi musik juga bidang diagnostik perkembangan psikologis bayi sampai dengan usia balita.
Lewat pelatihan di Jerman itulah, ia mendapat pengetahuan penting bahwa ternyata sudah ada ''proses belajar'' sejak dalam kandungan. Jadi, rahim ibu lebih menyerupai ''ruang kelas'' dan bukan sekadar ''ruang tunggu'' seperti yang dikira selama ini.
Janin juga telah bisa mendengar secara jelas pada usia 6 bulan dalam kandungan. Sehingga ia dapat menggerak-gerakkan tubuhnya sesuai dengan irama nada suara ibunya atau cara ibunya berbicara.
Selain itu, janin pun mampu untuk belajar sedikit mengenai musik pada usia empat setengah bulan. Artinya, secara pasti janin dapat bereaksi terhadap bunyi dan melodi dengan cara berbeda-beda terhadap ritme atau irama musik.
Misalnya, jika diputarkan lagu dengan irama lembut, maka janin yang sedang gelisah sekalipun akan merasa tenang atau rileks. Sebaliknya, jika kita memutar lagu-lagu dengan irama cepat dan menghentak seperti lagu rock, maka janin yang paling tenang pun akan menendang-nendang serta aktif bergerak.
Dari pendidikan di Jerman pula, Iesye mengetahui bahwa janin dalam kandungan sudah memiliki perasaan, kesadaran dan daya ingat. Dan yang tak kalah pentingnya, rangsangan suara misalnya musik yang diperdengarkan kepada janin
secara teratur dan terus menerus ternyata mampu memacu kecerdasannya.
''Atas fakta-fakta ilmiah yang diberikan para ahli dari berbagai disiplin ilmu itu serta juga didukung oleh pengalaman pribadi saya, maka saya sangat bahagia apabila mendapat kesempatan berbicara di depan para calon ayah dan calon ibu mengenai manfaat terapi musik selama kehamilan dan sesudah melahirkan bagi kecerdasan anak. Saya yakin semua orang tua mendambakan anak yang sehat jasmani dan cerdas otaknya,'' papar psikolog berusia 55 tahun ini.
Dan ibu dua anak ini memang tak perlu susah-susah mencari kesempatan untuk menularkan ilmunya kepada para calon orang tua. Sebagai koordinator Parent Education Program (PEP) di RSAB Harapan Kita, setiap hari ia didatangi oleh
puluhan para calon orang tua yang ingin berkonsultasi dengannya.
Menjalin hubungan emosional
Diselenggarakan sejak tahun 1994, PEP merupakan layanan khusus bagi suami istri yang akan menjadi orang tua. Tujuannya memberi pendidikan secara lengkap kepada para ibu yang sedang hamil dan suaminya dalam persiapan
kehamilan berikut persalinannya. Sejumlah pakar berkumpul di sini. Ada dokter kebidanan, dokter anak, dokter gigi, psikolog, ahli farmasi, ahli gizi, ahli fisioterapi, bidan, ahli terapi musik dan pekerja sosial.
Selain konsultasi, senam hamil, senam nifas, senam irama dan lain-lain, terapi musik merupakan salah satu program yang banyak diminati. Terapi musik dimaksudkan untuk membuat rangsangan pada janin sejak dini serta menjalin
hubungan emosional antara ibu dengan janin yang dikandungnya. Kata dia, terapi ini dapat diberikan pada usia kandungan 4 bulan atau 16 minggu. Pertimbangannya, karena pada usia kandungan 4 bulan, janin sudah bisa
mendeteksi bunyi-bunyian.
Dan di PEP, program ini menggunakan musik klasik gubahan komponis besar asal Jerman, Wolfgang Amadeus Mozart.
Mengapa Mozart? ''Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur musik Mozart sesuai dengan pola sel otak manusia. Musik Mozart begitu bervariasi dan kaya akan nada-nada dari lembut sampai keras dari lambat sampai cepat,'' papar
psikolog yang telah bergabung dengan RSAB Harapan Kita sejak 1979 ini.
Lalu, mengapa pula musik terutama musik Mozart bisa membuat otak menjadi lebih cerdas?
Ini, jelas Iesye, berkait dengan fungsi otak manusia. Seperti diketahui, otak mulai terbentuk pada awal kehamilan dan berkembang dengan pesat sampai bayi lahir. Belahan otak kiri merupakan tempat untuk melakukan fungsi akademik seperti kemampuan berbicara, tata bahasa, daya ingat dan daya tangkap, logika, angka, analisis dan lain-lain. Sementara belahan otak kanan berkaitan dengan perkembangan artistik dan kreatif, perasaan, gaya bahasa, irama musik, imajinasi, lamunan, warna, pengenalan diri dan orang lain, sosialisasi dan pengembangan kepribadian.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa belahan otak kanan ada kaitannya dengan musik. Namun pada pelaksanaan terapi musik bagi ibu hamil, perangsangan atau stimulasi mental (dengan musik atau cara-cara lain) haruslah mencakup
peningkatan perkembangan dari kedua belahan otak tersebut. Ini penting agar tercapai keseimbangan antara fungsi otak kiri dan kanan.
''Keseimbangan ini akan membuat bayi atau anak kita tumbuh dan berkembang menjadi individu yang utuh,'' jelas wanita yang sejak 1992 lalu dipercaya menjadi Kepala Unit Rehabilitasi Medik RSAB Harapan Kita.
Keseimbangan otak kiri-kanan
Dalam kehidupan sehari-hari memang ada orang yang menunjukkan ketidakseimbangkan fungsi otak kanan dan kirinya. Ada yang fungsi otak kirinya lebih menonjol. Misalnya, ahli matematika yang tidak suka musik. Atau ahli bedah yang muak melihat istrinya membaca novel atau membeli benda-benda seni.
Di sisi lain ada individu yang kemampuan otak kanannya lebih menonjol. Contohnya, seseorang yang lebih suka melamun, membuat novel atau menulis lagu sementara ia akan merasa pusing bila dihadapkan pada angka-angka
matematika atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kemampuan akademik.
Dalam pelaksanannya, terapi musik sendiri membutuhkan konsentrasi. Selain itu, para ibu hamil harus berada dalam kondisi serileks mungkin baik fisik maupun mental. Karena itu idealnya, terapi ini dilakukan di satu ruangan khusus dan dilakukan di bawah bimbingan ahli.
Di PEP, alunan musik klasik Mozart diperdengarkan setelah para ibu mencapai tahap relaksasi. Para ibu hamil yang mengikuti terapi ini tiduran selonjor di sofa khusus dengan jarak 1,5 meter dari sumber musik. Mereka pun dapat menikmati alunan musik dengan tenang dan santai. Iesye juga menyarankan kepada para peserta terapi agar mendengarkan musik dan menyanyi di rumah secara teratur minimal 10-15 menit setiap hari.
Memang, selain mendengarkan musik, para ibu hamil juga disarankan untuk menyanyikan 2-3 lagu anak yang syairnya edukatif misalnya lagu Pelangi-pelangi. ''Pada akhir lagu itu kan ada syair 'ciptaan Tuhan.' Jadi sejak janin, calon anak ini sudah mengenal kata Tuhan.''
Setelah bayi lahir, disarankan agar ibu terus mendidik anaknya untuk mencintai musik. Akan lebih bagus lagi bila sejak usia 5 tahun anak diajari memainkan alat musik. Penelitian menunjukkan, anak yang pandai memainkan alat musik mempunyai daya kreativitas dan keahlian yang tinggi.

1 komentar:

memang anak itu dasarnya orang pintar

Posting Komentar